Hampir
genap satu tahun setelah muncul adanya informasi adanya kontaminasi cemaran
mikrobia ataupun bahan-bahan kimia berbahaya pada berbagai produk pangan, namun
sepertinya tidak ada kejelasan dari pihak terkait mengenai sampai dimana kasus
ini ditangani. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selaku pihak paling bertanggung-jawab,
dituntut oleh segenap masyarakat untuk segera menuntaskannya. Hal ini sangat
penting, mengingat adanya kasus-kasus semacam cemaran E. sakazakii ataupun
bahan kimia berbahaya seperti melamin, borak, ataupun formalin akan terus
berulang pada tahun-tahun berikutnya, meski dengan kasus yang berbeda.
Kontaminasi
bahan berbahaya dalam makanan
Sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia, makanan akan selalu dicari dan diusahakan dengan berbagai cara. Sayangnya, tidak semua cara yang digunakan tersebut berdampak positif bagi kesehatan tubuh. Seringkali pihak produsen lebih mementingkan aspek ekonomi semata, dengan cara meningkatkan volume penjualan produk tanpa memperhatikan sisi kualitas produk maupun higienitas proses pengolahannya.
Sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia, makanan akan selalu dicari dan diusahakan dengan berbagai cara. Sayangnya, tidak semua cara yang digunakan tersebut berdampak positif bagi kesehatan tubuh. Seringkali pihak produsen lebih mementingkan aspek ekonomi semata, dengan cara meningkatkan volume penjualan produk tanpa memperhatikan sisi kualitas produk maupun higienitas proses pengolahannya.
Dari hasil pemantauan, pelanggaran terhadap UU Pangan No 7 th 1997 yang memuat
jaminan atas keamanan produk yang dipasarkan kepada masyarakat, lebih banyak
dilakukan oleh produsen kelas kecil-menengah. Hal ini mengingat belum adanya
nama jual (brand image) sehinga seakan-akan mereka bebas menambah-kurangkan
ingredient dengan BTM (Bahan Tambahan Makanan) tanpa ukuran tertentu, asalkan
tujuan untuk menghasilkan produk yang memiliki nilai jual lebih tinggi (lebih
menarik, enak dan awet) tercapai. Apabila ketiadaan informasi yang benar
menjadi kambing hitam, sepertinya perlu diragukan mengingat akses informasi
saat ini yang seakan sudah tak berbatas. Kecuali bagi masyarakat terpencil atau
pedalaman yang kurang sekali dalam menerima sosialiasi, misalnya tentang cara
produksi obat dan makanan yang baik (CPOB).
Bagi perusahaan besar, tentu tidak otomatis menjadi berlenggang tangan,
mengingat peluang terjadinya pencemaran makanan juga dapat terjadi dimana saja,
kapan saja, dan oleh siapa saja. Mulai dari sumber bahan baku, proses
penyaluran, pengolahan, sampai distribusi kembali kepada masyarakat. Masih
segar dalam memori, tentang kasus kesengajaan penambahan melamin oleh oknum
penyalur bahan baku susu segar di Cina, hal ini juga bisa terjadi di Indonesia.
Sumber
kontaminan
Tidak dapat dipastikan dengan mudah untuk menelusur terjadinya kontaminasi bahan berbahaya dalam produk pangan, termasuk produk obat-obatan (obat tradisional dan kosmetika). Dengan panjangnya proses produksi, mulai dari bahan baku hingga pengemasan dan distribusi, tentunya sangat banyak kemungkinan terjadinya titik kritis tercampurnya bahan berbahaya tersebut. Akan tetapi dua hal yang dapat dipastikan ialah apakah adanya kontaminan tersebut disengaja ditambahkan atau sebaliknya tanpa disengaja. Namun meskipun tanpa kesengajaan, tetap saja pelaku yang terlibat perlu ditindak sesuai hukum dan prosedur yang berlaku.
Tidak dapat dipastikan dengan mudah untuk menelusur terjadinya kontaminasi bahan berbahaya dalam produk pangan, termasuk produk obat-obatan (obat tradisional dan kosmetika). Dengan panjangnya proses produksi, mulai dari bahan baku hingga pengemasan dan distribusi, tentunya sangat banyak kemungkinan terjadinya titik kritis tercampurnya bahan berbahaya tersebut. Akan tetapi dua hal yang dapat dipastikan ialah apakah adanya kontaminan tersebut disengaja ditambahkan atau sebaliknya tanpa disengaja. Namun meskipun tanpa kesengajaan, tetap saja pelaku yang terlibat perlu ditindak sesuai hukum dan prosedur yang berlaku.
Dari hasil pengamatan, sumber utama kontaminasi pada produk pangan hampir dapat
dipastikan berasal dari 3 (tiga) macam sumber, yaitu kimia, mikrobiologi, dan
fisik. Bahan-bahan kimia berbahaya yang sering ditambahkan oleh masyarakat
tanpa mengenal ukuran, diantaranya ialah formalin pada tahu dan mie basah,
borak pada kerupuk dan bakso, pewarna makanan yang dilarang (rhodamin B dan
methanil yellow) pada terasi dan aneka macam jajanan anak sekolah termasuk es
limun (minuman ringan) serta pestisida dan pengawet lainnya pada produk-produk
olahan awetan, seperti ikan asin.
Adapun sumber kontaminan berupa mikrobia dan fisik (logam, kerikil, dsb) dapat
terjadi lebih banyak disebabkan oleh faktor kecerobohan dari pihak produsennya,
yaitu tidak diterapkannya prinsip sanitasi yang baik dalam proses produksi.
Selain itu, faktor ketidak-tahuan dari konsumen, terutama anak-anak dan orang
tua seringkali juga menjadi penyebab terjadinya peristiwa keracunan (food borne
disease). Dari berbagai kasus keracunan yang ada, hampir sebagian besar menimpa
anak-anak serta konsumsi masal (pesta, prasmanan dan nasi bungkus).
Dengan melihat sumber terjadinya kontaminasi pada produk pangan, diharapkan
dapat menjadi landasan yang tepat bagi BPOM dalam bertindak, yaitu dalam
memberantas dan mencegah terjadinya kontaminasi yang disengaja dari bahan kimia
berbahaya serta meminimalisir terjadinya keracunan pangan yang tidak disengaja
dari kontaminan mikrobia dan fisik.
Kerjasama
lintas sektoral
Sebagai bagian dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), tentu dalam melakukan tugasnya tidak bisa sendiri. Perlu melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, terutama yang terkait dengan distribusi, hukum dan pemberdayaan masyarakat. Dari ketiga sektor itu, semuanya perlu dipandang sama tingkat kepentingannya. Pertama, jalur distribusi merupakan pintu gerbang pertama dapat beredarnya suatu produk di masyarakat. Apabila dari wilayah ini telah dapat dikendalikan, tentu akan meminimalisir resiko beredarnya produk pangan (termasuk obat-obatan) yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat.
Sebagai bagian dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), tentu dalam melakukan tugasnya tidak bisa sendiri. Perlu melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, terutama yang terkait dengan distribusi, hukum dan pemberdayaan masyarakat. Dari ketiga sektor itu, semuanya perlu dipandang sama tingkat kepentingannya. Pertama, jalur distribusi merupakan pintu gerbang pertama dapat beredarnya suatu produk di masyarakat. Apabila dari wilayah ini telah dapat dikendalikan, tentu akan meminimalisir resiko beredarnya produk pangan (termasuk obat-obatan) yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat.
Kedua, adanya proses hukum yang berkesinambungan. Saat ini peran Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang dimiliki oleh Badan POM saat ini hanya sampai
pada melakukan penyidikan. Disisi lain, terputusnya proses pengusutan suatu
kasus, seringkali berhenti ditahap ini. Hal ini dapat diperbaiki, dengan
catatan dari pihak-pihak yang terkait, yaitu dari pihak kepolisian, kejaksaan,
maupun pengadilan dapat menjaga independensinya, sehingga keberlangsungan
proses hukum tetap dapat dijaga.
Ketiga, yaitu pemberdayaan masyarakat. Sepertinya memang kurang terdengar
‘gaung’nya. Padahal di dalam struktur BPOM sendiri sebenarnya sudah terdapat
UPLK (Unit Pengaduan dan Layanan Konsumen) dan juga bidang khusus yang bertugas
melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Akan tetapi melihat kemampuan menjalin
kerjasama, baik itu dengan media (cetak maupun elektronik), Pemerintah (Pusat
dan Daerah) serta Dinas Kesehatan maupun dinas-dinas yang lain belum optimal
diupayakan, sehingga kedepan kerja sama lintas sektoral ini sangat dipandang
perlu untuk ditingkatkan performa-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar