Laman

Selasa, 31 Januari 2012

Evaluasi Pengawasan Keamanan Obat dan Makanan


Hampir genap satu tahun setelah muncul adanya informasi adanya kontaminasi cemaran mikrobia ataupun bahan-bahan kimia berbahaya pada berbagai produk pangan, namun sepertinya tidak ada kejelasan dari pihak terkait mengenai sampai dimana kasus ini ditangani. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selaku pihak paling bertanggung-jawab, dituntut oleh segenap masyarakat untuk segera menuntaskannya. Hal ini sangat penting, mengingat adanya kasus-kasus semacam cemaran E. sakazakii ataupun bahan kimia berbahaya seperti melamin, borak, ataupun formalin akan terus berulang pada tahun-tahun berikutnya, meski dengan kasus yang berbeda.

Kontaminasi bahan berbahaya dalam makanan
Sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia, makanan akan selalu dicari dan diusahakan dengan berbagai cara. Sayangnya, tidak semua cara yang digunakan tersebut berdampak positif bagi kesehatan tubuh. Seringkali pihak produsen lebih mementingkan aspek ekonomi semata, dengan cara meningkatkan volume penjualan produk tanpa memperhatikan sisi kualitas produk maupun higienitas proses pengolahannya.

Dari hasil pemantauan, pelanggaran terhadap UU Pangan No 7 th 1997 yang memuat jaminan atas keamanan produk yang dipasarkan kepada masyarakat, lebih banyak dilakukan oleh produsen kelas kecil-menengah. Hal ini mengingat belum adanya nama jual (brand image) sehinga seakan-akan mereka bebas menambah-kurangkan ingredient dengan BTM (Bahan Tambahan Makanan) tanpa ukuran tertentu, asalkan tujuan untuk menghasilkan produk yang memiliki nilai jual lebih tinggi (lebih menarik, enak dan awet) tercapai. Apabila ketiadaan informasi yang benar menjadi kambing hitam, sepertinya perlu diragukan mengingat akses informasi saat ini yang seakan sudah tak berbatas. Kecuali bagi masyarakat terpencil atau pedalaman yang kurang sekali dalam menerima sosialiasi, misalnya tentang cara produksi obat dan makanan yang baik (CPOB).

Bagi perusahaan besar, tentu tidak otomatis menjadi berlenggang tangan, mengingat peluang terjadinya pencemaran makanan juga dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Mulai dari sumber bahan baku, proses penyaluran, pengolahan, sampai distribusi kembali kepada masyarakat. Masih segar dalam memori, tentang kasus kesengajaan penambahan melamin oleh oknum penyalur bahan baku susu segar di Cina, hal ini juga bisa terjadi di Indonesia.

Sumber kontaminan
Tidak dapat dipastikan dengan mudah untuk menelusur terjadinya kontaminasi bahan berbahaya dalam produk pangan, termasuk produk obat-obatan (obat tradisional dan kosmetika). Dengan panjangnya proses produksi, mulai dari bahan baku hingga pengemasan dan distribusi, tentunya sangat banyak kemungkinan terjadinya titik kritis tercampurnya bahan berbahaya tersebut. Akan tetapi dua hal yang dapat dipastikan ialah apakah adanya kontaminan tersebut disengaja ditambahkan atau sebaliknya tanpa disengaja. Namun meskipun tanpa kesengajaan, tetap saja pelaku yang terlibat perlu ditindak sesuai hukum dan prosedur yang berlaku.

Dari hasil pengamatan, sumber utama kontaminasi pada produk pangan hampir dapat dipastikan berasal dari 3 (tiga) macam sumber, yaitu kimia, mikrobiologi, dan fisik. Bahan-bahan kimia berbahaya yang sering ditambahkan oleh masyarakat tanpa mengenal ukuran, diantaranya ialah formalin pada tahu dan mie basah, borak pada kerupuk dan bakso, pewarna makanan yang dilarang (rhodamin B dan methanil yellow) pada terasi dan aneka macam jajanan anak sekolah termasuk es limun (minuman ringan) serta pestisida dan pengawet lainnya pada produk-produk olahan awetan, seperti ikan asin.

Adapun sumber kontaminan berupa mikrobia dan fisik (logam, kerikil, dsb) dapat terjadi lebih banyak disebabkan oleh faktor kecerobohan dari pihak produsennya, yaitu tidak diterapkannya prinsip sanitasi yang baik dalam proses produksi. Selain itu, faktor ketidak-tahuan dari konsumen, terutama anak-anak dan orang tua seringkali juga menjadi penyebab terjadinya peristiwa keracunan (food borne disease). Dari berbagai kasus keracunan yang ada, hampir sebagian besar menimpa anak-anak serta konsumsi masal (pesta, prasmanan dan nasi bungkus).

Dengan melihat sumber terjadinya kontaminasi pada produk pangan, diharapkan dapat menjadi landasan yang tepat bagi BPOM dalam bertindak, yaitu dalam memberantas dan mencegah terjadinya kontaminasi yang disengaja dari bahan kimia berbahaya serta meminimalisir terjadinya keracunan pangan yang tidak disengaja dari kontaminan mikrobia dan fisik.

Kerjasama lintas sektoral
Sebagai bagian dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), tentu dalam melakukan tugasnya tidak bisa sendiri. Perlu melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, terutama yang terkait dengan distribusi, hukum dan pemberdayaan masyarakat. Dari ketiga sektor itu, semuanya perlu dipandang sama tingkat kepentingannya. Pertama, jalur distribusi merupakan pintu gerbang pertama dapat beredarnya suatu produk di masyarakat. Apabila dari wilayah ini telah dapat dikendalikan, tentu akan meminimalisir resiko beredarnya produk pangan (termasuk obat-obatan) yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat.

Kedua, adanya proses hukum yang berkesinambungan. Saat ini peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang dimiliki oleh Badan POM saat ini hanya sampai pada melakukan penyidikan. Disisi lain, terputusnya proses pengusutan suatu kasus, seringkali berhenti ditahap ini. Hal ini dapat diperbaiki, dengan catatan dari pihak-pihak yang terkait, yaitu dari pihak kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan dapat menjaga independensinya, sehingga keberlangsungan proses hukum tetap dapat dijaga.

Ketiga, yaitu pemberdayaan masyarakat. Sepertinya memang kurang terdengar ‘gaung’nya. Padahal di dalam struktur BPOM sendiri sebenarnya sudah terdapat UPLK (Unit Pengaduan dan Layanan Konsumen) dan juga bidang khusus yang bertugas melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Akan tetapi melihat kemampuan menjalin kerjasama, baik itu dengan media (cetak maupun elektronik), Pemerintah (Pusat dan Daerah) serta Dinas Kesehatan maupun dinas-dinas yang lain belum optimal diupayakan, sehingga kedepan kerja sama lintas sektoral ini sangat dipandang perlu untuk ditingkatkan performa-nya.

Senin, 30 Januari 2012

Problem Pengawasan Obat dan Makanan


Lagi, masyarakat dibuat terkejut oleh peringatan publik (public warning) yang dikeluarkan oleh Badan POM. Setelah sebelumnya menimpa produk-produk makanan, kali ini produk obat tradisional (fitofarmaka) dan kosmetika yang terkena. Dampaknya, banyak masyarakat yang terkaget-kaget. Produsen obat yang selama ini diuntungkan, dipastikan akan menanggu rugi milyaran rupiah. Termasuk pedangan level eceran juga menangung resiko kerugiannya. Tetapi apalah arti kerugian secara materi ini jika dibandingkan dengan kerugian non-materi, yaitu menurunnya derajat kesehatan masyarakat akibat mengkonsumsi bahan kimia obat tanpa dosis dan takaran.
Terkait dengan peringatan yang disampaikan oleh Badan POM, ada banyak tanggapan yang muncul dari masyarakat. Selain kekagetan, dikarenakan produk yang diminta untuk ditarik dari pasar ialah produksi dari pabrikan farmasi ternama, yaitu PT Dexa Medika produsen Tripoten, PT Pasific Care Indonesia produsen Blue Moon , dan PT Paramitra Media Perkasa produsen Maca Gold. Ketiganya jika terbukti melanggar Undang-undang 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu diancam dengan hukuman pidana 5 tahun penjara atau denda maksimal sebanyak Rp 2 miliar.
Munculnya kasus penyalahgunaan nomor registrasi sebagai obat tradisonal (fitofarmaka) dengan mencampurkan bahan kimia obat (BKO) yang seharusnya tidak boleh dikonsumsi tanpa resep dokter ini, memunculkan pertanyan dari banyak pihak, terkait proses perijinan yang dilakukan oleh BPOM. Meskipun jika ditelusur, sebenarnya sudah sangat jelas bahwa kesalahan terjadi pada pihak produsen. Hal ini mengingat bahwa ’perjanjian’ yang sebelumnya dilakukan pada saat registrasi ialah sebagai obat tradisional yang mana dalam proses pembuatannya hanya berasal dari bahan-bahan alami. Namun dalam kenyatannya, dengan sengaja ditambahkan bahan-bahan kimia seperti sildenafil sulfat, tadalafil, sibutramin, hidroklorida, siproheptadin, fenilbutason, asam mefenamat, predalson, metampiron, teofilin, dan parasetamol.
Adanya pembatalan perjanjian yang dilakukan oleh produsen ini, jelas menunjukan bahwa faktor ekonomi lebih dipilih sebagai tujuan utama perusahaan. Dengan menambahkan sedikit saja bahan-bahan kimia diatas, maka fungsi atau efek yang akan diperoleh oleh konsumen lebih cepat terasakan. Dengan ini, konsumen dengan yakin akan menyimpulkan bahwa ’jamu’ yang dibeli adalah benar-benar manjur, sehingga berikutnya akan mengkonsumsi lagi, dan lagi. Selain itu, dengan mendaftarkan sebagai obat tradisional (yang ditandai dengan adanya logo hijau) tentunya akan lebih mudah didapatkan oleh konsumen, karena tidak hanya tersedia di apotek-apotek resmi, tetapi dapat juga diperoleh di toko-toko obat. Artinya secara ekonomi, cara seperti ini akan lebih mendatangkan banyak keuntungan bagi pihak produsen.
Belum selesai kasus penarikan obat kuat ini dari pasaran, BPOM kembali mengumumkan adanya penemuan bahan kimia berbahaya seperti merkuri (Hg), hidrokinon, asam retinoat, dan pewarna rhodamin B (merah K.3 dan K.10) pada produk kosmetika. Kasus penyalahgunaan bahan kimia terlarang ini menunjukan bahwa dalam sistem perdagangan kita masih mengutamakan faktor keuntungan semata, tanpa mempertimbangkan efek yang diterima oleh konsumen, terutama dalam jangka panjang.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa penggunaan bahan-bahan kimia tersebut, dapat menimbulkan berbagai gangguan. Untuk zat merkuri dapat berdampak mulai dari bintik hitam pada kulit, alergi, iritasi kulit, sampai pada kerusakan permanen susunan saraf, otak, ginjal, dan gangguan janin (teratogenik). Untuk pewarna rhodamin B pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati dan bersifat karsinogenik sedangkan asam retinoat dapat menyebabkan kulit kering dan rasa terbakar. Khusus untuk zat kimia hidrokuinon (sebagai pemutih) sementara ini masih diperbolehkan asal tidak melebihi batas maksimal yaitu 2 %, akan tetapi kedepan sedang diusulkan untuk dilarang. Hal ini setidaknya akan menjadikan tugas pengawasan BPOM menjadi bertambah.

Kebohongan publik
Sebagi produk yang memiliki banyak khasiat, produk obat-obatan termasuk kosmetika memiliki cara dan aturan tersendiri dalam mengiklankan kepada masyarakat. Hal ini telah diatur dalam Permenkes No 386/Menkes/SK/IV/1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas. Salah satu hal penting dalam aturan ini ialah tidak dibolehkannya membohongi publik dalam hal fungsi dan khasiatnya. Termasuk dalam pelabelan bahan baku serta zat aktif penyusunnya. Artinya, dalam setiap melakukan promosi, baik melalui media massa dan elektronik maupun melalui penjualan langsung oleh medical representative, haruslah berupa informasi yang objektif, lengkap, dan tidak menyesatkan. Secara umum, iklan obat bebas hendaknya bermanfaat bagi masyarakat dalam memilih obat secara rasional
Dengan semakin terbukanya era informasi, maka masyarakat dapat mengakses informasi langsung dari sumbernya, dalam hal ini BPOM sebagai sumber rujukan utama akan kebenaran dari promo-promo yang disampaikan oleh pihak produsen. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa sifat suatu iklan ialah menawarkan dengan berbagai cara yang kreatif, sehingga masyarakat tertarik untuk membeli dan mencoba produk tersebut. Akan tetapi proses kreatif itu tetap dibatasi oleh peraturan yang belaku.
Adanya kasus ’penipuan’ massal yang ditelah dilakukan oleh produsen obat kuat maupun kosmetika, menunjukan bahwa proses pengontrolan atas iklan yang beredar belum berfungsi efektif dilakukan oleh BPOM. Disisi lain, tumbuhnya kesadaran dari pihak produsen dalam membuat iklan yang bersifat edukatif, informatif, dan fakta sebenarnya masih sangat rendah. Maka kesadaran bersama oleh masyarakat menjadi satu keharusan agar selalu cermat dalam setiap menerima informasi dari suatu produk yang ditawarkan.

Resistensi masyarakat
Akhir-akhir ini sering terdengar dikeluarkannya peringatan publik oleh BPOM. Adanya public warning ini, disatu sisi menunjukan signal positif perbaikan kinerja BPOM sebagai badan pengawas, namun disisi lain juga memunculkan satu kekhawatiran adanya resistensi masyarakat terhadap isi dari peringatan tersebut. Ibarat iklan yang terus menerus disampaikan, seringkali menjadi diabaikan disebabkan pengulangan-pengulangan (repeating) tersebut cenderung membosankan. Oleh karena itu, untuk meminimalisir adanya resistensi ini, perlu adanya tindakan nyata dari pihak pemerintah, dalam hal ini BPOM dan aparat penegak hukum, untuk menindak tegas para pelaku dari setiap kasus serta mengusutnya hingga tuntas, sehingga dikemudian hari tidak akan muncul lagi kasus – kasus yang serupa meski dengan ’wajah’ yang berbeda.

Rabu, 18 Januari 2012

Problem Diversifikasi Pangan Lokal dalam Pembangunan


Salah satu pilar dalam pembangunan ketahanan pangan nasional kita ialah program penganeka-ragaman pangan. Adanya program ini tidak lain ialah bertujuan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kekurangan bahan pangan, terutama bahan makanan pokok. Mengingat disatu sisi telah terjadi laju pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, sedangkan disisi lain terus terjadi pengurangan lahan pertanian menjadi daerah industri atau pemukiman. Hampir 100.000 hektar lahan pertanian kita terkonversi tiap tahunnya menjadi lahan non pertanian (1% /tahun). Padahal kebutuhan pangan nasional kita akan selalu meningkat. Hal inilah yang menjadi bahan pemikiran kita disini, bahwa adanya program diversifikasi pangan ialah untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok kita, sehingga ketahanan pangan nasional tetap terjaga.

Selain itu, dengan melihat potensi hasil-hasil pertanian kita yang berlimpah, tetapi banyak diantaranya yang belum teroptimalkan potensinya, maka salah satu nilai penting dari program ini ialah untuk mengoptimalkan penggunaan potensi sumber daya alam kita, sehingga tidak ada lagi komoditas dari hasil pertanian kita yang terabaikan. Ini merupakan satu peluang besar bagi bangsa Indonesia untuk membangun ketahanan pangan nasional. Sudah tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa ketahanan pangan suatu bangsa, saat bukan lagi hanya menjadi suatu hal yang bersifat strategis, tetapi sudah masuk pada wilayah yang bersifat politis. Artinya untuk mengukur kemandirian suatu bangsa, salah satu caranya ialah dengan melihat seberapa kuat ketahanan pangan nasional-nya.

Namun demikian, yang menjadi persoalan kita ialah selama hampir 41 tahun bangsa kita menjalan program diversifikasi pangan, ternyata belum menunjukan satu fakta yang menggembirakan. Dari data konsumsi beras sebagai bahan utama masyarakat kita, tiap tahun selalu mengalami peningkatan. Dimulai hanya 44% pada tahun 1987, terus meningkat hingga mencapai 86,3% pada tahun 1999. Hal ini menunjukan bahwa selama 41 tahun itu pula, program diversifikasi pangan yang kita canangkan belum mengalami keberhasilan. Bahkan bisa dikatakan mengalami kegagalan.

Namun hal ini bukan berarti program diversifikasi pangan harus kita hilangkan. Bahkan dengan data real diatas, semakin memperkuat alasan kita untuk tetap mempertahankan program pemerintah dalam upaya penganeka-ragaman pangan. Hal ini disebabkan dengan naiknya tingkat konsumsi masyarakat terhadap beras sebagai makanan pokoknya, sedangkan produksi beras masyarakat itu sendiri, setelah krisis moneter ini terus mengalami penurunan, maka cara lain untuk menyelesaikan masalah ini  ialah dengan tidak memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap beras, tetapi dengan memberikan alternatif lain selain beras sebagai bahan makanan pokok. Dengan cara ini, maka akan memutus ketergantungan masyarakat terhadap beras, sehingga kebutuhan energi masyarakat yang mau tak mau harus dipenuhi, bisa dipenuhi dengan mengkonsumsi makanan lain selain beras.

Selain itu, kalau kita berbicara tentang diversifikasi pangan, maka tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan makan masyarakat yang sudah mengakar kuat menjadi tradisi atau budaya hidup (life style). Jika kita kaitkan dengan satu faktor ini, maka upaya diversifikasi pangan akan mengalami hambatan yang cukup berat. Hal ini mengingat untuk merubah suatu kebiasaan makan (food habits) diperlukan satu waktu yang lama dan upaya yang terus berkelanjutan. Sehingga dengan mengevaluasi selama 41 tahun ini, belum cukup kiranya kita segera menyimpulkan sudah tidak relevan-nya program diversifikasi pangan.

Dan satu hal lagi yang perlu diingat ialah bahwa kalau kita melihat ruang lingkup dari penganeka-ragaman pangan sebagai alat ukur dari keberhasilan program ini, maka kita tidak hanya dituntut untuk berbicara masalah penganeka-ragaman sumber – sumber bahan pengan, tetapi juga mencakup  penganeka-ragaman dalam zat gizi. Keduanya (penganeka-ragaman bahan pangan/makanan dan zat gizi) memang merupakan satu kesatuan. Tetapi untuk melihatnya secara mendalam, bisa dilakukan secara terpisah.

Pertama, penganeka-ragaman sumber bahan pangan/makanan. Ternyata sampai saat ini belum menunjukan adanya hasil yang cukup signifikan. Seperti yang sudah disampaikan diatas, bahwa beras masih menjadi dominasi utama konsumsi harian masyarakat Indonesia. Meskipun sudah dilakukan berbagai upaya, seperti misalnya dengan melakukan kampanye ACMI; Aku Cinta Makanan Indonesia, tetapi tetap saja efeknya kurang bergaung dimasyarakat. Padahal dengan tersosialisasikannya berbagai jenis makanan tradisional ini, maka sedikit-demi sedikit masyarakat kita akan mengenal berbagai bahan pangan alternatif pengganti beras. Tetapi karena tidak diikuti dengan pengkajian yang cukup matang, akhirnya program ini pun berhenti ditengah jalan.

Sebenarnya kalau kita mau mengevaluasi program-program yang dicanangkan oleh pemerintah, beberapa hal memang bersifat kontraproduktif. Salah satunya ialah adanya program inetnsifikasi pertanian yang pada akhirnya menghasilkan swasembada beras hingga mencapai peningkatan produktifitas padi 10% per 5 tahun. Akibatnya, semakin banyak petani yang menggantungkan lahan pertaniannya pada penanaman padi, dikarenakan adanya perhatian yang serius dari pemerintah. Disisi lain, dengan bertumpunya hasil pertanian pada satu komoditas saja, maka produktifitas hasil pertanian lain yang termasuk penting; kedelai dan gula tebu, menjadi ikut berkurang.

Memang benar bahwa yang dimaksud dengan program intensifikasi pertanian ini iialah untuk mengimbangi program pemerintah lainnnya; ekstensifikasi lahan pertanian. Dengan upaya perluasan lahan pertanian 140.000 Ha/tahun, diharapkan produski pangan nasional bisa ditingkatkan. Apalagi program ini dilaksanakan dengan melibatkan berbagai instansi pemerintahan, mulai dari Depatemen Pertanian, Pemukiman dan Trasmigrasi, Prasarana Wilayah, Kehutanan dan Perkebunan, serta Pemda. Sehingga upaya perluasan lahan pertanian ini dalam waktu sekejap mampu memberikan hasil yang sudah bisa dilihat.

Tetapi ternyata keseriusan pemerintah dalam mengupayakan perluasan lahan pertanian ini, tidak diimbangi dengan strategi yang cukup kuat dalam pemilihan jenis-jenis komoditas yang akan menjadi tanaman pokok pertanian masyarakat. Apalagi saat itu, jenis tanaman pertanian yang paling tinggi tingkat produktifitasnya ialah padi. Maka dengan berbondong-bondong, semua petani berebut untuk ikut mengembangkan hasil penelitian negara tetangga tentang padi varietas baru (IR-11). Hingga akhirnya target jangka pendek pemerintah untuk memenuhi persedian pangan nasional, yaitu persedian beras untuk konsumsi 100 kg/kapita/hari terpenuhi.

Sukses meraih target jangka pendek, belum tentu diikuti dengan sukses jangka panjang. Setelah beberapa tahun mengalami swasembada beras, beberapa tahun kemudian setelah dilanda berbagai krisis nasional, kondisi ini menjadi berkebalikan. Bangsa Indonesia yang awalnya menjadi negara pengekspor beras, kini menjadi negara pengimpor beras. Oleh karena itu, sangat wajar jika kemudian muncul ide untuk melakukan upaya revitalisasi pertanian Indonesia. Dengan melihat program yang sudah dicanangkan oleh pemerintah untuk jangka menengah (5-10 th) dan jangka panjang (>10th), memang perlu segera diubah arah kebijaknnya, terkait dengan ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan.

Tetapi tanpa berpanjang lebar membahas tentang ketahanan pangan nasioanl, kita cukup membahas keterkaitan antara program diversifikasi pangan dengan ketahanan pangan. Kalau kita perhatikan pada aspek penganeka-ragaman pangan yang kedua; penganeka-ragaman zat gizi, maka sudah mulai terlihat adanya keberhasilan pemerintah dalam mengkampanyekan menu makanan sehat dan seimbang, yaitu menu makan 4 sehat, lima sempurna. Hampir semua lapisan masyarakat mengetahui slogan ini. Bukan hanya tahu,  tetapi juga sudah bisa memahami betapa pentingnya keragaman zat gizi bagi tubuh. Sehingga disetiap tempat bisa kita jumpai bagaimana susunan menu makan masyarakat, hampir semuanya menggunakan acuan menu diatas. Kalaupun tidak sempurna, minimal memenuhi tiga menu pokok yang mewakili 3 zat gizi penting bagi tubuh; karbohidrat, protein dan lemak.

Sampai disini sudah bisa kita lihat bagaimana keberhasilan program diversifikasi pangan terkait dengan upaya pemerintah dalam pemenuhan zat gzi Artinya, dengan adanya program diversifikasi pangan ini, secara langsung telah berdampak positif terhadap pola konsumsi masyarakat untuk mengupayakan ketercukupan zat gizi bagi tubuh. Namun sayangnya, dalam upaya penganeka-ragaman sumber-sumber bahan makanan, ternyata masih mengalami hambatan.

Kalau diawal sudah dijelaskan bagaimana upaya pemerintah yang terkadang kontraproduktif satu dengan lainnya, maka dari faktor luar-pun sebenarnya kita mendapatkan ancaman. Hal ini tanpa kita sadari, sudah sejak lama kita dipaksakan, ‘dijajah’ untuk mengkonsumsi produk-produk pangan ala Barat. Satu sontoh diantaranya ialah konsep ‘fast food’ atau makanan cepat saji. Konsep ini ternyata tidak hanya menawarkan kelezatan tetapi juga gengsi yang menandakan tingginya status sosial. Perpaduan dua hal ini akhirnya mampu menarik perhatian masyarakat hingga sangat luas. Bahkan disetiap penjuru kota bisa kita temui dengan mudahnya outlet-outlet yang menjual makanan cepat saji ini.

Padahal kalau kita menilik kembali kekayaan alam kita, dengan beragamnya sumber protein, baik hewani maupun nabati, maka seharusnya kita tidak terpukau dengan konsep fast food yang ditawarkan itu. Apalagi saat ini didukung dengan adanya bukti-bukti ilmiah tentang dampak negatif makanan cepat saji terhadap kesehatan. Dengan kandungan lemak jenuh yang tinggi, ditambah dengan tidak seimbangnya komposisi bahan makanan dalam setiap porsi-nya, seharusnya kita mulai berfikir untuk mengembangkan potensi bahan makanan lokal yang kaya zat gizi penting bagi tubuh.

Memang tidak semua hal yang berasal dari Barat adalah satu hal yang harus kita tolak. Ada beberapa hal yang memang sebaiknya kita ‘tiru’ dan kita kembangkan, sehingga upaya kita dalam program diversifikasi pangan mengalamai keberhasilan. Satu contoh diantaranya ialah produk Barat yang berupa mie instant dan roti. Keduanya selama ini memang masih menggunakan bahan baku tepung terigu yang berasal dari tepung gandum import. Tetapi jika bahan baku ini bisa kita ganti dengan bahan dasar lokal, maka bukan tidak mungkin, kedepan nasi menjadi bahan makanan ketiga setelah mie dan roti.

Jadi, konsep baru yang ditawarkan disini, satu diantaranya ialah dengan mengembangkan sumber-sumber bahan makanan lokal, seperti umbi-umbian, kacang-kacangan, keleta, ubi jalar, buah pisang, labu kuning, dan buah sukun sebagai bahan makanan alternatif pengganti beras dan tepung terigu. Tetapi sebelum program ini dikembangkan lebih jauh, perlu dilakukan pengkajian terlebih dahulu terhadap tingkat kesukaan masyarakat terhadap produk-produk mie atau roti dengan berbahan dasar tepung-tepung lokal selain beras dan tepung terigu.

Dari berbagai hasil penelitian, memang menunjukan masih adanya tingkat kesukaan panelis yang tinggi terhadap produk roti atau mie yang memiliki rasio tepung terigu lebih tinggi daripada tepung lokal. Tetapi jika upaya ini terus dikampanyekan dan disebarluaskan, baik melalui media ataupun secara langsung kepada masyarakat melalui penyuluhan, maka lama-kelamaan dapat dilihat adanya perubahan yang cukup drastis dari pola kunsumsi makanan masyarakat, dari tepung gandum dan beras kepada jenis pati-patian lokal.

Disisi lain, dari peran pemerintah seharusnya juga mulai disiapkan dari sekarang tentang kesiapannya, baik secara kelembagaan ataupun prosedur pelaksaan teknis dilapangan, terkait dengan pengaturannya dengan pihak indutsri sebagai pihak utama yang akan berperan dalam mengkampanyekan makanan alternatif pengganti nasi dan roti atai mie yang masih berbahan baku tepung terigu menjadi berbahan baku tepung lokal. Hal ini mengingat keberhasilan promosi yang dilakukan oleh berbagai pihak industri mie yang mampu mengajak masyarakat untuk mengkonsumsi selain nasi. Perlu kita akui memang bahwa dalam dunia industri, selain mengedepankan profesionalitas, tetapi juga melibatkan proses produksi masal yang menjamin ketersediaan produk, serta sistem pemasaran dan distribusi yang tidak banyak mengalami penyimpangan. Bahkan dalam sistem promosi akan sangat efektif dalam menjelaskan kepada masyarakat tentang pentingnya mengkonsumsi bahan pangan lokal, yaitu mie dan roti yang berasal dari tepung-tepung lokal.

Jika proses ini berhasil, maka pengembangan-pengembangan berikutnya harus mulai disiapkan juga dari sekarang, dimana misalnya dengan mulai terbiasaknnya masyarakat mengkonsumsi sarapan dalam bentuk cair (cereal), maka kedepan jenis produk makanan seperti ini pun perlu dikembangankan dengan menggunakan bahan dasar lokal. Atau bisa juga dikembangkan bersamaan dengan pengembangan makanan tradisional yang saat ini mulai mendapat perhatian serius dari pihak pemerintah.

Kedua program ini; pengembangan bahan makanan lokal dan tradisional, merupakan satu peluang yang cukup potensial untuk dikembangkan menjadi alternatif makanan pokok masyarakat kita. Karena kita cermati proses pembentukan kebiasaan makan kita, sebenarnya mudah dipengaruhi, asalkan diberikan penjelasan yang menyeluruh tentang keuntungan dan manfaatnya ketika mengkonsumsi  produk-produk makanan tersebut.

Dalam hal ini, sengaja dipilih pihak industri sebagai garda terdepan dalam mengkampanyekan produk-produk pangan alternatif ini, mengingat nilai strategis industri yang mampu mengkampanyekan secara edukatif dan bersifat masal kepada masyarakat, sehingga pesan yang ingin kita inginkan, cepat tersampaikan kepada masyarakat. Pun jika masih ada satu hal yang mengganjal pada masyarakat, harus segera ditanggapi secara aktif oleh pihak industri dan pemerintah, sehingga persepsi keliru yang pada akhirnya mengganggu proses transformasi pola makan masyarakat terhadap pola makan dapat diminimalisir.

Jika konsep ‘pengindustrian’ pangan allternatif ini disepakati, maka yang perlu segera diantisipasi lagi oleh pemerintah, adalah masalah harga yang tentunya sangat berddampak langsung terhadap keberhasilan program ini. Diperlukan adanya kontrol yang seefektif mungkin, sehingga permasalahan harga yang tidak terjangaku bisa diatasi seawal mungkin. Tanpa membedakan kelas, konsep jenjang harga berdasar kualitas, sebenarnya bisa diterapkan. Asalkan dengan satu syarat, kebutuhan standar akan gizi yang dipersyaratkan terpenuhi pada semua jenis produk.

Belajar dari pengalaman, sudah seharusnya masing-masing pihak mengerti dan memahami nilai pentingnya program ini. Bagi pihak industri, sebagai penyokong utama bersama pemerintah, sudah seharusnya bersifat saling terbuka dan meminimalisir adanya kepentingan sesaat yang pada akhirnya merugikan semua pihak. Begitu juga diperlukan adanya pengertian dan partisipasi aktif dari pihak masyarakat, karena kesuksesan program ini sangat ditentukan oleh masyarakat itu sendiri, sebagai produsen bahan baku, sekaligus konsumen produk-produknya. Hal ini disebabkan tidak semua proses produksi bisa dilaksanakan secara mandiri oleh masyarakat, dikarenakan kebutuhan teknologi yang canggih, tidak hanya memenuhi standar pada aspek kualitas mutu secara fisik dan kenampakan, tetapi secara kimia dan mikrobiologis harus memenuhi standar mutu keamanan pangan (food safety). Oleh karena itu, dengan melihat kebutuhan pangan masyarakat yang semakin besar, tidak mungkin untuk memenuhinya dilakukan secara mandiri oleh masing-masing keluarga.

Bahkan kalau kedepan semakin dibutuhkan adanya program fortifikasi gizi dengan melihat semakin mewabahnya berbagai macam penyakit, terutama yang terkait dengan kekuranagn dan kelebihan zat gizi, diperlukan satu pengaturan (regulasi) yang secara aktif diupayakan oleh pemerintah untuk menangani kasus-kasus semacam kekurangan zat besi, kekurangan vitamin A, atau zat-zat gizi penting lainnya. Sehingga semakin banyak tuntutan yang dibutuhkan oleh masyarakat, sudah seharusnya dari pihak industri, dengan didukung oleh lembaga-lembaga pendidikan dan instansi lain yang terkait, untuk melakukan berbagai penelitian dan pengembangan terhadap kemungkinan-kemungkinan solusi alternatif yang bisa membantu memecahkan permasalahan gizi masyarakat.

Untuk melaksanakan itu semua, tidaklah semudah yang kita bayangkan. Bahwa saat ini sudah terjadi proses-proses yang mengarah pada globalisasi, maka dunia industri kita pun terkena dampaknya. Hanya beberapa saja industri lokal kita yang masih mampu bersaing dengan MNC (Multi National Corporation). Sehingga perlu segera dilakukan oleh pemerintah mulai dari sekarang ialah menyiapkan industri-industri kecil-menengah lokal untuk bisa go public, bersaing dengan indutsri-indutsri internasional. Dengan dimilikinya sumber daya alam lokal yang kaya, seharusnya bisa dijadikan sebagai daya tawar untuk menghadapi persaingan global.

Namun yang lebih penting dari itu semua ialah, adanya orang-orang yang memiliki integritas dan kepribadian moral yang baik, dengan didukung adanya kompetensi dan kemauan yang kuat untuk membangun bangsa ini, melalui program diversifikasi pangan berbasis bahan pangan lokal, maka pemenuhan kebutuhan akan pangan sebagai salah satu pilar inti dalam mewujudkan sistem ketahanan pangan nasional yang mantap bisa terwujudkan.

Minggu, 08 Januari 2012

Nasi Boranan, Rijstavel van Java


Hmm, siapa yang tak menginginkan hidangan yang lezat, lengkap dengan sayur dan lauk-pauknya, serta sambal yang menggugah selera? Tentu setiap kita pasti menginginkannya. Apalagi jika ditambah dengan keramahan si penjual serta suasana lingkungan sekitar yang bersih dan asri. Akan semakin menambah kenikmatan menyantap hidangan sedap nan lezat, dan bergizi.
Itulah gambaran sekilas Nasi Boranan. Salah satu masakan khas Kota Lamongan yang dapat dijumpai hampir selama 24 jam tanpa henti. Masakan ini terdiri dari nasi putih atau nasi jagung, berbagai macam lauk-pauk seperti; ayam goreng, udang, tempe, tahu, telur asin, telur ceplok, uretan (bakal calon telur), ikan bandeng, ikan kutuk, dan ikan sili yang dicampur dalam sambal kuah yang pedas-asam, urapan sayur, gimbal goreng, dan tak lupa ditambahkan peyek kacang atau peyek ikan teri.
Istilah Nasi Boranan sendiri, diambil dari wadah nasi yang disebut Boranan, yaitu semacam keranjang yang terbuat dari bambu berbentuk lingkaran di bagian atas dan persegi di bagian bawah dengan keempat penyangga di setiap sudutnya. Dengan bentuk yang hampir sama, masyarakat sekitar Kota Lamongan juga menggunakan keranjang jenis ini untuk berbagai keperluan, seperti untuk mengangkut dan menyimpan berbagai komoditas hasil pertanian serta di beberapa tempat ditemukan juga sebagai alat pemindah air dari satu petak sawah ke petak kolam lainnya.
Banyak diantara kita yang mengira bahwa keunikan dari jenis masakan ini terdapat pada nasi-nya. Padahal nilai khas yang sebenarnya dari Nasi Boranan ialah terletak pada resep sambalnya. Ada dua jenis sambal yang digunakan disini, yaitu sambal kuah dan sambal urap. Pada pembuatan sambal kuah, bahan-bahan yang digunakan berupa cabe merah dan cabe rawit yang direbus, bawang merah dan bawang putih yang di goreng, parutan kelapa, sedikit beras mentah yang telah direndam beberapa saat sebagai pengental, serta lengkuas, jahe, terasi, garam, dan jeruk purut.
Pada pembuatan sambal urap, bahan-bahan yang digunakan ialah bawang merah, bawang putih, garam, cabe merah, penyedap rasa, dan parutan kelapa. Yang unik pada pembuatan sambal ini ialah cara mematangkannya. Pada umumnya, sambal urap dimatangkan dengan cara dikukus atau dibiarkan segar begitu saja. Akan tetapi disini untuk memanaskan sambal urap digunakan kreweng yaitu semacam tanah liat persegi yang dibakar sehingga menghasilkan sensasi rasa asap yang khas Nasi Boranan.
Selain terletak pada sambalnya, kekhasan Nasi Boranan juga terletak pada lauk-pauknya. Ada tiga macam lauk yang menjadi ciri khas Nasi Boranan, yaitu ikan Bandeng, ikan Kutuk, dan ikan Sili. Dari ketiga jenis ikan ini, hanya ikan bandeng yang dibudidayakan oleh warga, sedangkan lainnya yaitu ikan kutuk dan ikan sili, biasanya hidup liar di rawa-rawa atau sungai sehingga harganya paling mahal diantara jenis lauk lainnya. Sebagai pelengkap, biasanya penjual Nasi Boranan menambahkan peyek kacang atau ikan teri, serta gimbal goreng yaitu adonan tepung murni berbumbu yang didiamkan (fermentasi) beberapa saat sehingga setelah digoreng rasanya agak masam.
Dari semua itu, lalu apa yang menjadikan Nasi Boranan identik dengan sajian rijsttafel ala Eropa? Istilah rijsttafel alias rice table sendiri sudah muncul sejak zaman kolonial Belanda menguasai Indonesia pada periode akhir, yaitu sekitar tahun 1900 M. Pada saat itu, orang Belanda melihat cara bersantap orang pribumi yang selalu makan bersama mengelilingi meja besar yang berisi nasi putih lengkap dengan beragam jenis lauk-pauknya. Melihat suasana makan yang begitu menyenangkan tanpa ada waktu tunggu sebagaimana kebiasaan makan orang Eropa yang berdasarkan giliran, membuat orang Belanda tertarik untuk meniru cara bersantap keluarga pribumi. Hanya saja mereka tetap menggunakan sendok-pisau-garpu, tidak seperti orang pribumi yang biasa menyantap dengan jari tangan dan duduk lesehan.
Untuk resep bumbunya, sajian rijsttafel tidak berbeda jauh dengan resep masakan pribumi yang kaya akan rempah, seperti jahe, merica, jintan, pala, ketumbar, cengkih, kunyit, dan lengkuas. Hanya saja yang perlu dikurangi ialah rasa pedas dari cabe, sehingga makanan yang dihasilkan tetap sesuai dengan selera orang Eropa.
Ciri khas dari sajian rijsttafel ialah terletak pada variasi dan jumlah masakannya. Saat pertama kali populer, jumlah sajian rijsttafel bahkan bisa mencapai 35 jenis sajian termasuk dengan nasi putih. Tentu tidak semua jenis sajian tersebut harus disantap. Biasanya semakin dihormati tamu yang datang, maka jumlah sajian akan semakin banyak. Selain itu, dalam tata-cara menghidangkan sajian rijsttafel, biasanya dihidangkan oleh para pramausaji pria (dalam perkembangannya, dilibatkan juga pramusaji wanita yang berpakaian kebaya dengan warna mencolok) yang berjumlah sesuai dengan jumlah masakannya
Secara umum, sajian menu rijsttafel terdiri dari makanan pembuka, menu utama, dan hidangan penutup. Ada juga yang hanya terdiri dari menu utama dan hidangan penutup. Untuk sajian pembuka, biasanya dipilih sajian yang ringan seperti sup panas, soto berkuah bening, atau lumpia. Untuk menu utama, dipilih nasi putih dengan lauk-pauk yang terdiri atas daging; baik daging ayam, sapi, maupun kambing, ikan, atau udang. Adapun sajian penutupnya bias berupa jajanan pasar tradisional, buah-buahan, atau beragam minuman.
Dari keterangan diatas, dapat kita bandingkan antara sajian Nasi Boranan dengan sajian Rijsttafel ala Eropa, maka dapat dilihat adanya persamaan di satu sisi dan juga perbedaan di sisi yang lain. Hal ini sangat wajar, mengingat munculnya Nasi Boranan baru sekitar 30-an tahun yang lalu. Hal ini menunjukan bahwa dari sisi sejarah, munculnya Nasi Boranan sangat jauh dibelakang setelah masa popularitas sajian rijsttafel ala Eropa.
Selain itu, dari sisi penikmat dapat pula dibandingkan; bahwa penikmat sajian rijsttafel zaman dulu merupakan orang-orang Belanda pemilik perkebunan sehingga suasana glamour dan mewah sangat terasa pada saat menikmati sajian rijsttafel. Hal ini ditunjukan oleh sangat banyaknya jumlah hidangan yang disajikan oleh para pramusaji disertai dengan iringan musik tradisional Indonesia. Sedangkan saat ini, para penikmat setia Nasi Boranan di Kota Lamongan, sebagian besar ialah tukang ojek atau tukang becak, serta para pemuda dan warga masyarakat kelas menengah ke-bawah pada umumnya. Cara menikmatinya-pun cukup sederhana saja, yaitu dengan jari tangan dan duduk ber-lesehan tanpa menggunakan sendok-garpu apalagi pisau.
Barangkali kalau ingin menyepadankan sajian rijsttafel dengan sajian Indonesia saat ini, lebih mirip dengan sajian ala prasmanan yang banyak disuguhkan sewaktu ada hajatan atau dapat pula ditemui di hotel-hotel dan restoran. Namun demikian, sajian khas Kota Lamongan berupa Nasi Boranan ini, sungguh sangat kaya akan cita-rasa dan variasi jenis lauk-pauknya. Bahkan jika hitung jumlah lauknya, rata-rata setiap penjual Nasi Boranan membawa sekitar 10-13 jenis lauk-pauk. Jumlah ini sama banyaknya dengan jumlah sajian rijsttafel generasi berikutnya pada saat Belanda telah meninggalkan bumi Indonesia atau pasca Perang Dunia II.
Saat ini penjual Nasi Boranan hanya bisa kita dapatkan di Kota Lamongan. Di tempat lain belum bisa kita temukan adanya penjaja Nasi Boranan yang siap selama 24 jam. Di Kota Lamongan-nya sendiri hanya terdapat pada titik-titik tertentu saja, yaitu di seputar alun-alun kota, di pasar kota lama depan stasiun, dan di sepanjang Jln. Basuki Rahmat. Untuk harga untuk satu porsi-nya sangat bervariasi, tergantung jenis dan jumlah lauk yang dipilih, yaitu berkisar antara Rp 4000, 00 – Rp 10.000,00. Dengan kisaran harga tersebut, menjadikan Nasi Boranan dapat dinikmati oleh semua kalangan.
Melihat itu semua, sebenarnya perkembangan kedepan untuk mengembangkan Nasi Boranan ini cukup cerah. Namun sampai saat ini sentra pembuatan Nasi Boranan ini masih didominasi oleh empat dusun di Kecamatan Kota Lamongan yaitu; Dusun Kaotan, Sawu, Sidorukun, dan Karangmulyo. Padahal potensi untuk dikembangkannya jenis masakan ini cukup prospektif. Masyarakat Lamongan secara umum, terutama yang berada di perantauan, dapat memasarkan Nasi Boranan ini di luar Kota Lamongan. Bahkan dalam skala industri dapat dikembangkan pula Sambal Boranan khas Lamongan. Hal ini tentunya akan semakin memperkuat image Kabupaten Lamongan sebagai kota lezatnya masakan (delicious city), selain telah dikenal sebagai Kota Soto, Wingko, dan Tahu Campur.
Terakhir, sebagai kesimpulan barangkali ialah bahwa kita telah diingatkan oleh adanya Nasi Boranan yang menjadi salah satu kekayaan kuliner Bangsa Indonesia. Untuk itu, perlu terus untuk dikaji dan dikembangkan, terutama oleh para generasi muda sebagai penerus dan pewaris kekayaan bangsa.