Hmm, siapa yang tak menginginkan hidangan yang lezat, lengkap dengan sayur
dan lauk-pauknya, serta sambal yang menggugah selera? Tentu setiap kita pasti
menginginkannya. Apalagi jika ditambah dengan keramahan si penjual serta
suasana lingkungan sekitar yang bersih dan asri. Akan semakin menambah
kenikmatan menyantap hidangan sedap nan lezat, dan bergizi.
Itulah gambaran sekilas Nasi Boranan. Salah satu masakan khas Kota Lamongan
yang dapat dijumpai hampir selama 24 jam tanpa henti. Masakan ini terdiri dari nasi
putih atau nasi jagung, berbagai macam lauk-pauk seperti; ayam goreng, udang,
tempe, tahu, telur asin, telur ceplok, uretan (bakal calon telur),
ikan bandeng, ikan kutuk, dan ikan sili yang dicampur dalam sambal kuah yang
pedas-asam, urapan sayur, gimbal goreng, dan tak lupa ditambahkan
peyek kacang atau peyek ikan teri.
Istilah Nasi Boranan sendiri, diambil dari wadah nasi yang disebut Boranan,
yaitu semacam keranjang yang terbuat dari bambu berbentuk lingkaran di bagian
atas dan persegi di bagian bawah dengan keempat penyangga di setiap sudutnya.
Dengan bentuk yang hampir sama, masyarakat sekitar Kota Lamongan juga
menggunakan keranjang jenis ini untuk berbagai keperluan, seperti untuk
mengangkut dan menyimpan berbagai komoditas hasil pertanian serta di beberapa
tempat ditemukan juga sebagai alat pemindah air dari satu petak sawah ke petak
kolam lainnya.
Banyak diantara kita yang mengira bahwa keunikan dari jenis masakan ini
terdapat pada nasi-nya. Padahal nilai khas yang sebenarnya dari Nasi Boranan ialah
terletak pada resep sambalnya. Ada dua jenis sambal yang digunakan disini,
yaitu sambal kuah dan sambal urap. Pada pembuatan sambal kuah, bahan-bahan yang
digunakan berupa cabe merah dan cabe rawit yang direbus, bawang merah dan
bawang putih yang di goreng, parutan kelapa, sedikit beras mentah yang telah
direndam beberapa saat sebagai pengental, serta lengkuas, jahe, terasi, garam,
dan jeruk purut.
Pada pembuatan sambal urap, bahan-bahan yang digunakan ialah bawang merah,
bawang putih, garam, cabe merah, penyedap rasa, dan parutan kelapa. Yang unik
pada pembuatan sambal ini ialah cara mematangkannya. Pada umumnya, sambal urap
dimatangkan dengan cara dikukus atau dibiarkan segar begitu saja. Akan tetapi
disini untuk memanaskan sambal urap digunakan kreweng yaitu semacam
tanah liat persegi yang dibakar sehingga menghasilkan sensasi rasa asap yang
khas Nasi Boranan.
Selain terletak pada sambalnya, kekhasan Nasi Boranan juga terletak pada
lauk-pauknya. Ada tiga macam lauk yang menjadi ciri khas Nasi Boranan, yaitu
ikan Bandeng, ikan Kutuk, dan ikan Sili. Dari ketiga jenis ikan ini, hanya ikan
bandeng yang dibudidayakan oleh warga, sedangkan lainnya yaitu ikan kutuk dan
ikan sili, biasanya hidup liar di rawa-rawa atau sungai sehingga harganya
paling mahal diantara jenis lauk lainnya. Sebagai pelengkap, biasanya penjual
Nasi Boranan menambahkan peyek kacang atau ikan teri, serta gimbal goreng
yaitu adonan tepung murni berbumbu yang didiamkan (fermentasi)
beberapa saat sehingga setelah digoreng rasanya agak masam.
Dari semua itu, lalu apa yang menjadikan Nasi Boranan identik dengan sajian
rijsttafel ala Eropa? Istilah rijsttafel alias rice table
sendiri sudah muncul sejak zaman kolonial Belanda menguasai Indonesia pada
periode akhir, yaitu sekitar tahun 1900 M. Pada saat itu, orang Belanda melihat
cara bersantap orang pribumi yang selalu makan bersama mengelilingi meja besar
yang berisi nasi putih lengkap dengan beragam jenis lauk-pauknya. Melihat
suasana makan yang begitu menyenangkan tanpa ada waktu tunggu sebagaimana
kebiasaan makan orang Eropa yang berdasarkan giliran, membuat orang Belanda
tertarik untuk meniru cara bersantap keluarga pribumi. Hanya saja mereka tetap
menggunakan sendok-pisau-garpu, tidak seperti orang pribumi yang biasa
menyantap dengan jari tangan dan duduk lesehan.
Untuk resep bumbunya, sajian rijsttafel tidak berbeda jauh dengan resep
masakan pribumi yang kaya akan rempah, seperti jahe, merica, jintan, pala,
ketumbar, cengkih, kunyit, dan lengkuas. Hanya saja yang perlu dikurangi ialah
rasa pedas dari cabe, sehingga makanan yang dihasilkan tetap sesuai dengan
selera orang Eropa.
Ciri khas dari sajian rijsttafel ialah terletak pada variasi dan jumlah
masakannya. Saat pertama kali populer, jumlah sajian rijsttafel bahkan bisa
mencapai 35 jenis sajian termasuk dengan nasi putih. Tentu tidak semua jenis
sajian tersebut harus disantap. Biasanya semakin dihormati tamu yang datang,
maka jumlah sajian akan semakin banyak. Selain itu, dalam tata-cara
menghidangkan sajian rijsttafel, biasanya dihidangkan oleh para pramausaji pria
(dalam perkembangannya, dilibatkan juga pramusaji wanita yang berpakaian kebaya
dengan warna mencolok) yang berjumlah sesuai dengan jumlah masakannya
Secara umum, sajian menu rijsttafel terdiri dari makanan pembuka, menu
utama, dan hidangan penutup. Ada juga yang hanya terdiri dari menu utama dan
hidangan penutup. Untuk sajian pembuka, biasanya dipilih sajian yang ringan
seperti sup panas, soto berkuah bening, atau lumpia. Untuk menu utama, dipilih
nasi putih dengan lauk-pauk yang terdiri atas daging; baik daging ayam, sapi,
maupun kambing, ikan, atau udang. Adapun sajian penutupnya bias berupa jajanan
pasar tradisional, buah-buahan, atau beragam minuman.
Dari keterangan diatas, dapat kita bandingkan antara sajian Nasi Boranan dengan
sajian Rijsttafel ala Eropa, maka dapat dilihat adanya persamaan di satu sisi
dan juga perbedaan di sisi yang lain. Hal ini sangat wajar, mengingat munculnya
Nasi Boranan baru sekitar 30-an tahun yang lalu. Hal ini menunjukan bahwa dari
sisi sejarah, munculnya Nasi Boranan sangat jauh dibelakang setelah masa
popularitas sajian rijsttafel ala Eropa.
Selain itu, dari sisi penikmat dapat pula dibandingkan; bahwa penikmat
sajian rijsttafel zaman dulu merupakan orang-orang Belanda pemilik perkebunan
sehingga suasana glamour dan mewah sangat terasa pada saat menikmati
sajian rijsttafel. Hal ini ditunjukan oleh sangat banyaknya jumlah hidangan
yang disajikan oleh para pramusaji disertai dengan iringan musik tradisional
Indonesia. Sedangkan saat ini, para penikmat setia Nasi Boranan di Kota
Lamongan, sebagian besar ialah tukang ojek atau tukang becak, serta para pemuda
dan warga masyarakat kelas menengah ke-bawah pada umumnya. Cara
menikmatinya-pun cukup sederhana saja, yaitu dengan jari tangan dan duduk ber-lesehan
tanpa menggunakan sendok-garpu apalagi pisau.
Barangkali kalau ingin menyepadankan sajian rijsttafel dengan sajian
Indonesia saat ini, lebih mirip dengan sajian ala prasmanan yang
banyak disuguhkan sewaktu ada hajatan atau dapat pula ditemui di hotel-hotel
dan restoran. Namun demikian, sajian khas Kota Lamongan berupa Nasi Boranan
ini, sungguh sangat kaya akan cita-rasa dan variasi jenis lauk-pauknya. Bahkan
jika hitung jumlah lauknya, rata-rata setiap penjual Nasi Boranan membawa
sekitar 10-13 jenis lauk-pauk. Jumlah ini sama banyaknya dengan jumlah sajian
rijsttafel generasi berikutnya pada saat Belanda telah meninggalkan bumi
Indonesia atau pasca Perang Dunia II.
Saat ini penjual Nasi Boranan hanya bisa kita dapatkan di Kota Lamongan. Di
tempat lain belum bisa kita temukan adanya penjaja Nasi Boranan yang siap
selama 24 jam. Di Kota Lamongan-nya sendiri hanya terdapat pada titik-titik
tertentu saja, yaitu di seputar alun-alun kota, di pasar kota lama depan
stasiun, dan di sepanjang Jln. Basuki Rahmat. Untuk harga untuk satu porsi-nya
sangat bervariasi, tergantung jenis dan jumlah lauk yang dipilih, yaitu
berkisar antara Rp 4000, 00 – Rp 10.000,00. Dengan kisaran harga tersebut,
menjadikan Nasi Boranan dapat dinikmati oleh semua kalangan.
Melihat itu semua, sebenarnya perkembangan kedepan untuk mengembangkan Nasi
Boranan ini cukup cerah. Namun sampai saat ini sentra pembuatan Nasi Boranan
ini masih didominasi oleh empat dusun di Kecamatan Kota Lamongan yaitu; Dusun
Kaotan, Sawu, Sidorukun, dan Karangmulyo. Padahal potensi untuk dikembangkannya
jenis masakan ini cukup prospektif. Masyarakat Lamongan secara umum, terutama
yang berada di perantauan, dapat memasarkan Nasi Boranan ini di luar Kota
Lamongan. Bahkan dalam skala industri dapat dikembangkan pula Sambal Boranan
khas Lamongan. Hal ini tentunya akan semakin memperkuat image
Kabupaten Lamongan sebagai kota lezatnya masakan (delicious city),
selain telah dikenal sebagai Kota Soto, Wingko, dan Tahu Campur.
Terakhir, sebagai kesimpulan barangkali ialah bahwa kita telah diingatkan
oleh adanya Nasi Boranan yang menjadi salah satu kekayaan kuliner Bangsa
Indonesia. Untuk itu, perlu terus untuk dikaji dan dikembangkan, terutama oleh
para generasi muda sebagai penerus dan pewaris kekayaan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar