Laman

Senin, 30 Januari 2012

Problem Pengawasan Obat dan Makanan


Lagi, masyarakat dibuat terkejut oleh peringatan publik (public warning) yang dikeluarkan oleh Badan POM. Setelah sebelumnya menimpa produk-produk makanan, kali ini produk obat tradisional (fitofarmaka) dan kosmetika yang terkena. Dampaknya, banyak masyarakat yang terkaget-kaget. Produsen obat yang selama ini diuntungkan, dipastikan akan menanggu rugi milyaran rupiah. Termasuk pedangan level eceran juga menangung resiko kerugiannya. Tetapi apalah arti kerugian secara materi ini jika dibandingkan dengan kerugian non-materi, yaitu menurunnya derajat kesehatan masyarakat akibat mengkonsumsi bahan kimia obat tanpa dosis dan takaran.
Terkait dengan peringatan yang disampaikan oleh Badan POM, ada banyak tanggapan yang muncul dari masyarakat. Selain kekagetan, dikarenakan produk yang diminta untuk ditarik dari pasar ialah produksi dari pabrikan farmasi ternama, yaitu PT Dexa Medika produsen Tripoten, PT Pasific Care Indonesia produsen Blue Moon , dan PT Paramitra Media Perkasa produsen Maca Gold. Ketiganya jika terbukti melanggar Undang-undang 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu diancam dengan hukuman pidana 5 tahun penjara atau denda maksimal sebanyak Rp 2 miliar.
Munculnya kasus penyalahgunaan nomor registrasi sebagai obat tradisonal (fitofarmaka) dengan mencampurkan bahan kimia obat (BKO) yang seharusnya tidak boleh dikonsumsi tanpa resep dokter ini, memunculkan pertanyan dari banyak pihak, terkait proses perijinan yang dilakukan oleh BPOM. Meskipun jika ditelusur, sebenarnya sudah sangat jelas bahwa kesalahan terjadi pada pihak produsen. Hal ini mengingat bahwa ’perjanjian’ yang sebelumnya dilakukan pada saat registrasi ialah sebagai obat tradisional yang mana dalam proses pembuatannya hanya berasal dari bahan-bahan alami. Namun dalam kenyatannya, dengan sengaja ditambahkan bahan-bahan kimia seperti sildenafil sulfat, tadalafil, sibutramin, hidroklorida, siproheptadin, fenilbutason, asam mefenamat, predalson, metampiron, teofilin, dan parasetamol.
Adanya pembatalan perjanjian yang dilakukan oleh produsen ini, jelas menunjukan bahwa faktor ekonomi lebih dipilih sebagai tujuan utama perusahaan. Dengan menambahkan sedikit saja bahan-bahan kimia diatas, maka fungsi atau efek yang akan diperoleh oleh konsumen lebih cepat terasakan. Dengan ini, konsumen dengan yakin akan menyimpulkan bahwa ’jamu’ yang dibeli adalah benar-benar manjur, sehingga berikutnya akan mengkonsumsi lagi, dan lagi. Selain itu, dengan mendaftarkan sebagai obat tradisional (yang ditandai dengan adanya logo hijau) tentunya akan lebih mudah didapatkan oleh konsumen, karena tidak hanya tersedia di apotek-apotek resmi, tetapi dapat juga diperoleh di toko-toko obat. Artinya secara ekonomi, cara seperti ini akan lebih mendatangkan banyak keuntungan bagi pihak produsen.
Belum selesai kasus penarikan obat kuat ini dari pasaran, BPOM kembali mengumumkan adanya penemuan bahan kimia berbahaya seperti merkuri (Hg), hidrokinon, asam retinoat, dan pewarna rhodamin B (merah K.3 dan K.10) pada produk kosmetika. Kasus penyalahgunaan bahan kimia terlarang ini menunjukan bahwa dalam sistem perdagangan kita masih mengutamakan faktor keuntungan semata, tanpa mempertimbangkan efek yang diterima oleh konsumen, terutama dalam jangka panjang.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa penggunaan bahan-bahan kimia tersebut, dapat menimbulkan berbagai gangguan. Untuk zat merkuri dapat berdampak mulai dari bintik hitam pada kulit, alergi, iritasi kulit, sampai pada kerusakan permanen susunan saraf, otak, ginjal, dan gangguan janin (teratogenik). Untuk pewarna rhodamin B pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati dan bersifat karsinogenik sedangkan asam retinoat dapat menyebabkan kulit kering dan rasa terbakar. Khusus untuk zat kimia hidrokuinon (sebagai pemutih) sementara ini masih diperbolehkan asal tidak melebihi batas maksimal yaitu 2 %, akan tetapi kedepan sedang diusulkan untuk dilarang. Hal ini setidaknya akan menjadikan tugas pengawasan BPOM menjadi bertambah.

Kebohongan publik
Sebagi produk yang memiliki banyak khasiat, produk obat-obatan termasuk kosmetika memiliki cara dan aturan tersendiri dalam mengiklankan kepada masyarakat. Hal ini telah diatur dalam Permenkes No 386/Menkes/SK/IV/1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas. Salah satu hal penting dalam aturan ini ialah tidak dibolehkannya membohongi publik dalam hal fungsi dan khasiatnya. Termasuk dalam pelabelan bahan baku serta zat aktif penyusunnya. Artinya, dalam setiap melakukan promosi, baik melalui media massa dan elektronik maupun melalui penjualan langsung oleh medical representative, haruslah berupa informasi yang objektif, lengkap, dan tidak menyesatkan. Secara umum, iklan obat bebas hendaknya bermanfaat bagi masyarakat dalam memilih obat secara rasional
Dengan semakin terbukanya era informasi, maka masyarakat dapat mengakses informasi langsung dari sumbernya, dalam hal ini BPOM sebagai sumber rujukan utama akan kebenaran dari promo-promo yang disampaikan oleh pihak produsen. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa sifat suatu iklan ialah menawarkan dengan berbagai cara yang kreatif, sehingga masyarakat tertarik untuk membeli dan mencoba produk tersebut. Akan tetapi proses kreatif itu tetap dibatasi oleh peraturan yang belaku.
Adanya kasus ’penipuan’ massal yang ditelah dilakukan oleh produsen obat kuat maupun kosmetika, menunjukan bahwa proses pengontrolan atas iklan yang beredar belum berfungsi efektif dilakukan oleh BPOM. Disisi lain, tumbuhnya kesadaran dari pihak produsen dalam membuat iklan yang bersifat edukatif, informatif, dan fakta sebenarnya masih sangat rendah. Maka kesadaran bersama oleh masyarakat menjadi satu keharusan agar selalu cermat dalam setiap menerima informasi dari suatu produk yang ditawarkan.

Resistensi masyarakat
Akhir-akhir ini sering terdengar dikeluarkannya peringatan publik oleh BPOM. Adanya public warning ini, disatu sisi menunjukan signal positif perbaikan kinerja BPOM sebagai badan pengawas, namun disisi lain juga memunculkan satu kekhawatiran adanya resistensi masyarakat terhadap isi dari peringatan tersebut. Ibarat iklan yang terus menerus disampaikan, seringkali menjadi diabaikan disebabkan pengulangan-pengulangan (repeating) tersebut cenderung membosankan. Oleh karena itu, untuk meminimalisir adanya resistensi ini, perlu adanya tindakan nyata dari pihak pemerintah, dalam hal ini BPOM dan aparat penegak hukum, untuk menindak tegas para pelaku dari setiap kasus serta mengusutnya hingga tuntas, sehingga dikemudian hari tidak akan muncul lagi kasus – kasus yang serupa meski dengan ’wajah’ yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar