Lagi, masyarakat dibuat
terkejut oleh peringatan publik (public warning) yang dikeluarkan
oleh Badan POM. Setelah sebelumnya menimpa produk-produk makanan, kali ini
produk obat tradisional (fitofarmaka) dan kosmetika yang terkena. Dampaknya,
banyak masyarakat yang terkaget-kaget. Produsen obat yang selama ini
diuntungkan, dipastikan akan menanggu rugi milyaran rupiah. Termasuk pedangan
level eceran juga menangung resiko kerugiannya. Tetapi apalah arti kerugian
secara materi ini jika dibandingkan dengan kerugian non-materi, yaitu
menurunnya derajat kesehatan masyarakat akibat mengkonsumsi bahan kimia obat
tanpa dosis dan takaran.
Terkait dengan peringatan
yang disampaikan oleh Badan POM, ada banyak tanggapan yang muncul dari
masyarakat. Selain kekagetan, dikarenakan produk yang diminta untuk ditarik
dari pasar ialah produksi dari pabrikan farmasi ternama, yaitu PT Dexa Medika
produsen Tripoten,
PT Pasific Care Indonesia produsen Blue Moon , dan PT Paramitra Media
Perkasa produsen Maca Gold. Ketiganya jika terbukti melanggar
Undang-undang 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan UU No 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, yaitu diancam dengan hukuman pidana 5 tahun penjara atau
denda maksimal sebanyak Rp 2 miliar.
Munculnya kasus
penyalahgunaan nomor registrasi sebagai obat tradisonal (fitofarmaka)
dengan mencampurkan bahan kimia obat (BKO) yang seharusnya tidak boleh
dikonsumsi tanpa resep dokter ini, memunculkan pertanyan dari banyak pihak,
terkait proses perijinan yang dilakukan oleh BPOM. Meskipun jika ditelusur,
sebenarnya sudah sangat jelas bahwa kesalahan terjadi pada pihak produsen. Hal
ini mengingat bahwa ’perjanjian’ yang sebelumnya dilakukan pada saat registrasi
ialah sebagai obat tradisional yang mana dalam proses pembuatannya hanya
berasal dari bahan-bahan alami. Namun dalam kenyatannya, dengan sengaja
ditambahkan bahan-bahan kimia seperti sildenafil sulfat, tadalafil, sibutramin,
hidroklorida, siproheptadin, fenilbutason, asam mefenamat, predalson,
metampiron, teofilin, dan parasetamol.
Adanya pembatalan
perjanjian yang dilakukan oleh produsen ini, jelas menunjukan bahwa faktor
ekonomi lebih dipilih sebagai tujuan utama perusahaan. Dengan menambahkan
sedikit saja bahan-bahan kimia diatas, maka fungsi atau efek yang akan
diperoleh oleh konsumen lebih cepat terasakan. Dengan ini, konsumen dengan
yakin akan menyimpulkan bahwa ’jamu’ yang dibeli adalah benar-benar manjur,
sehingga berikutnya akan mengkonsumsi lagi, dan lagi. Selain itu, dengan mendaftarkan
sebagai obat tradisional (yang ditandai dengan adanya logo hijau) tentunya akan
lebih mudah didapatkan oleh konsumen, karena tidak hanya tersedia di
apotek-apotek resmi, tetapi dapat juga diperoleh di toko-toko obat. Artinya
secara ekonomi, cara seperti ini akan lebih mendatangkan banyak keuntungan bagi
pihak produsen.
Belum selesai
kasus penarikan obat kuat ini dari pasaran, BPOM kembali mengumumkan adanya
penemuan bahan kimia berbahaya seperti merkuri (Hg), hidrokinon, asam retinoat,
dan pewarna rhodamin B (merah K.3 dan K.10) pada produk kosmetika. Kasus
penyalahgunaan bahan kimia terlarang ini menunjukan bahwa dalam sistem
perdagangan kita masih mengutamakan faktor keuntungan semata, tanpa
mempertimbangkan efek yang diterima oleh konsumen, terutama dalam jangka
panjang.
Seperti yang
telah kita ketahui bersama, bahwa penggunaan bahan-bahan kimia tersebut, dapat menimbulkan berbagai gangguan. Untuk zat merkuri dapat berdampak mulai dari
bintik hitam pada kulit, alergi, iritasi kulit, sampai pada kerusakan permanen
susunan saraf, otak, ginjal, dan gangguan janin (teratogenik). Untuk pewarna rhodamin B pada konsentrasi yang tinggi
dapat menyebabkan kerusakan hati dan bersifat karsinogenik sedangkan asam
retinoat dapat menyebabkan kulit kering dan rasa terbakar. Khusus untuk zat kimia hidrokuinon (sebagai pemutih)
sementara ini masih diperbolehkan asal tidak melebihi batas maksimal yaitu 2 %,
akan tetapi kedepan sedang diusulkan untuk dilarang. Hal ini setidaknya akan
menjadikan tugas pengawasan BPOM menjadi bertambah.
Kebohongan
publik
Sebagi produk
yang memiliki banyak khasiat, produk obat-obatan termasuk kosmetika memiliki
cara dan aturan tersendiri dalam mengiklankan kepada masyarakat. Hal ini telah
diatur dalam Permenkes No 386/Menkes/SK/IV/1994 tentang Pedoman Periklanan Obat
Bebas dan Obat Bebas Terbatas. Salah satu hal penting dalam aturan ini ialah
tidak dibolehkannya membohongi publik dalam hal fungsi dan khasiatnya. Termasuk
dalam pelabelan bahan baku serta zat aktif penyusunnya. Artinya, dalam setiap
melakukan promosi, baik melalui media massa dan elektronik maupun melalui
penjualan langsung oleh medical representative, haruslah berupa informasi yang objektif, lengkap, dan
tidak menyesatkan. Secara umum, iklan obat bebas hendaknya
bermanfaat bagi masyarakat dalam memilih obat secara rasional
Dengan semakin
terbukanya era informasi, maka masyarakat dapat mengakses informasi langsung
dari sumbernya, dalam hal ini BPOM sebagai sumber rujukan utama akan kebenaran
dari promo-promo yang disampaikan oleh pihak produsen. Seperti telah kita
ketahui bersama bahwa sifat suatu iklan ialah menawarkan dengan berbagai cara
yang kreatif, sehingga masyarakat tertarik untuk membeli dan mencoba produk
tersebut. Akan tetapi proses kreatif itu tetap dibatasi oleh peraturan yang
belaku.
Adanya kasus
’penipuan’ massal yang ditelah dilakukan oleh produsen obat kuat maupun
kosmetika, menunjukan bahwa proses pengontrolan atas iklan yang beredar belum
berfungsi efektif dilakukan oleh BPOM. Disisi lain, tumbuhnya kesadaran dari
pihak produsen dalam membuat iklan yang bersifat edukatif, informatif, dan
fakta sebenarnya masih sangat rendah. Maka kesadaran bersama oleh masyarakat
menjadi satu keharusan agar selalu cermat dalam setiap menerima informasi dari
suatu produk yang ditawarkan.
Resistensi
masyarakat
Akhir-akhir ini
sering terdengar dikeluarkannya peringatan publik oleh BPOM. Adanya public warning
ini, disatu sisi menunjukan signal positif perbaikan kinerja BPOM sebagai badan
pengawas, namun disisi lain juga memunculkan satu kekhawatiran adanya
resistensi masyarakat terhadap isi dari peringatan tersebut. Ibarat iklan yang
terus menerus disampaikan, seringkali menjadi diabaikan disebabkan
pengulangan-pengulangan (repeating) tersebut cenderung membosankan. Oleh karena
itu, untuk meminimalisir adanya resistensi ini, perlu adanya tindakan nyata
dari pihak pemerintah, dalam hal ini BPOM dan aparat penegak hukum, untuk
menindak tegas para pelaku dari setiap kasus serta mengusutnya hingga tuntas,
sehingga dikemudian hari tidak akan muncul lagi kasus – kasus yang serupa meski
dengan ’wajah’ yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar