Salah
satu pilar dalam pembangunan ketahanan pangan nasional kita ialah program
penganeka-ragaman pangan. Adanya program ini tidak lain ialah bertujuan untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya kekurangan bahan pangan, terutama bahan
makanan pokok. Mengingat disatu sisi telah terjadi laju pertumbuhan penduduk
yang sangat pesat, sedangkan disisi lain terus terjadi pengurangan lahan
pertanian menjadi daerah industri atau pemukiman. Hampir 100.000 hektar lahan
pertanian kita terkonversi tiap tahunnya menjadi lahan non pertanian (1%
/tahun). Padahal kebutuhan pangan nasional kita akan selalu meningkat. Hal
inilah yang menjadi bahan pemikiran kita disini, bahwa adanya program
diversifikasi pangan ialah untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok kita, sehingga
ketahanan pangan nasional tetap terjaga.
Selain
itu, dengan melihat potensi hasil-hasil pertanian kita yang berlimpah, tetapi
banyak diantaranya yang belum teroptimalkan potensinya, maka salah satu nilai
penting dari program ini ialah untuk mengoptimalkan penggunaan potensi sumber
daya alam kita, sehingga tidak ada lagi komoditas dari hasil pertanian kita
yang terabaikan. Ini merupakan satu peluang besar bagi bangsa Indonesia untuk
membangun ketahanan pangan nasional. Sudah tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa
ketahanan pangan suatu bangsa, saat bukan lagi hanya menjadi suatu hal yang
bersifat strategis, tetapi sudah masuk pada wilayah yang bersifat politis.
Artinya untuk mengukur kemandirian suatu bangsa, salah satu caranya ialah
dengan melihat seberapa kuat ketahanan pangan nasional-nya.
Namun
demikian, yang menjadi persoalan kita ialah selama hampir 41 tahun bangsa kita
menjalan program diversifikasi pangan, ternyata belum menunjukan satu fakta
yang menggembirakan. Dari data konsumsi beras sebagai bahan utama masyarakat
kita, tiap tahun selalu mengalami peningkatan. Dimulai hanya 44% pada tahun
1987, terus meningkat hingga mencapai 86,3% pada tahun 1999. Hal ini menunjukan
bahwa selama 41 tahun itu pula, program diversifikasi pangan yang kita
canangkan belum mengalami keberhasilan. Bahkan bisa dikatakan mengalami
kegagalan.
Namun
hal ini bukan berarti program diversifikasi pangan harus kita hilangkan. Bahkan
dengan data real diatas, semakin memperkuat alasan kita untuk tetap
mempertahankan program pemerintah dalam upaya penganeka-ragaman pangan. Hal ini
disebabkan dengan naiknya tingkat konsumsi masyarakat terhadap beras sebagai
makanan pokoknya, sedangkan produksi beras masyarakat itu sendiri, setelah
krisis moneter ini terus mengalami penurunan, maka cara lain untuk
menyelesaikan masalah ini ialah dengan tidak memenuhi kebutuhan
masyarakat terhadap beras, tetapi dengan memberikan alternatif lain selain
beras sebagai bahan makanan pokok. Dengan cara ini, maka akan memutus
ketergantungan masyarakat terhadap beras, sehingga kebutuhan energi masyarakat
yang mau tak mau harus dipenuhi, bisa dipenuhi dengan mengkonsumsi makanan lain
selain beras.
Selain
itu, kalau kita berbicara tentang diversifikasi pangan, maka tidak bisa
dilepaskan dari kebiasaan makan masyarakat yang sudah mengakar kuat menjadi
tradisi atau budaya hidup (life style). Jika kita kaitkan dengan satu
faktor ini, maka upaya diversifikasi pangan akan mengalami hambatan yang cukup
berat. Hal ini mengingat untuk merubah suatu kebiasaan makan (food habits)
diperlukan satu waktu yang lama dan upaya yang terus berkelanjutan. Sehingga
dengan mengevaluasi selama 41 tahun ini, belum cukup kiranya kita segera
menyimpulkan sudah tidak relevan-nya program diversifikasi pangan.
Dan
satu hal lagi yang perlu diingat ialah bahwa kalau kita melihat ruang lingkup
dari penganeka-ragaman pangan sebagai alat ukur dari keberhasilan program ini,
maka kita tidak hanya dituntut untuk berbicara masalah penganeka-ragaman sumber
– sumber bahan pengan, tetapi juga mencakup penganeka-ragaman dalam zat
gizi. Keduanya (penganeka-ragaman bahan pangan/makanan dan zat gizi) memang
merupakan satu kesatuan. Tetapi untuk melihatnya secara mendalam, bisa
dilakukan secara terpisah.
Pertama,
penganeka-ragaman sumber bahan pangan/makanan. Ternyata sampai saat
ini belum menunjukan adanya hasil yang cukup signifikan. Seperti yang sudah
disampaikan diatas, bahwa beras masih menjadi dominasi utama konsumsi harian
masyarakat Indonesia. Meskipun sudah dilakukan berbagai upaya, seperti misalnya
dengan melakukan kampanye ACMI; Aku Cinta Makanan Indonesia, tetapi tetap saja
efeknya kurang bergaung dimasyarakat. Padahal dengan tersosialisasikannya
berbagai jenis makanan tradisional ini, maka sedikit-demi sedikit masyarakat
kita akan mengenal berbagai bahan pangan alternatif pengganti beras. Tetapi
karena tidak diikuti dengan pengkajian yang cukup matang, akhirnya program ini
pun berhenti ditengah jalan.
Sebenarnya
kalau kita mau mengevaluasi program-program yang dicanangkan oleh pemerintah,
beberapa hal memang bersifat kontraproduktif. Salah satunya ialah adanya
program inetnsifikasi pertanian yang pada akhirnya menghasilkan swasembada
beras hingga mencapai peningkatan produktifitas padi 10% per 5 tahun.
Akibatnya, semakin banyak petani yang menggantungkan lahan pertaniannya pada
penanaman padi, dikarenakan adanya perhatian yang serius dari pemerintah.
Disisi lain, dengan bertumpunya hasil pertanian pada satu komoditas saja, maka
produktifitas hasil pertanian lain yang termasuk penting; kedelai dan gula
tebu, menjadi ikut berkurang.
Memang
benar bahwa yang dimaksud dengan program intensifikasi pertanian ini iialah
untuk mengimbangi program pemerintah lainnnya; ekstensifikasi lahan pertanian.
Dengan upaya perluasan lahan pertanian 140.000 Ha/tahun, diharapkan produski
pangan nasional bisa ditingkatkan. Apalagi program ini dilaksanakan dengan
melibatkan berbagai instansi pemerintahan, mulai dari Depatemen Pertanian, Pemukiman
dan Trasmigrasi, Prasarana Wilayah, Kehutanan dan Perkebunan, serta Pemda.
Sehingga upaya perluasan lahan pertanian ini dalam waktu sekejap mampu
memberikan hasil yang sudah bisa dilihat.
Tetapi
ternyata keseriusan pemerintah dalam mengupayakan perluasan lahan pertanian
ini, tidak diimbangi dengan strategi yang cukup kuat dalam pemilihan
jenis-jenis komoditas yang akan menjadi tanaman pokok pertanian masyarakat.
Apalagi saat itu, jenis tanaman pertanian yang paling tinggi tingkat
produktifitasnya ialah padi. Maka dengan berbondong-bondong, semua petani
berebut untuk ikut mengembangkan hasil penelitian negara tetangga tentang padi
varietas baru (IR-11). Hingga akhirnya target jangka pendek pemerintah untuk
memenuhi persedian pangan nasional, yaitu persedian beras untuk konsumsi 100
kg/kapita/hari terpenuhi.
Sukses
meraih target jangka pendek, belum tentu diikuti dengan sukses jangka panjang.
Setelah beberapa tahun mengalami swasembada beras, beberapa tahun kemudian
setelah dilanda berbagai krisis nasional, kondisi ini menjadi berkebalikan.
Bangsa Indonesia yang awalnya menjadi negara pengekspor beras, kini menjadi
negara pengimpor beras. Oleh karena itu, sangat wajar jika kemudian muncul ide
untuk melakukan upaya revitalisasi pertanian Indonesia. Dengan melihat program
yang sudah dicanangkan oleh pemerintah untuk jangka menengah (5-10 th) dan
jangka panjang (>10th), memang perlu segera diubah arah kebijaknnya, terkait
dengan ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan.
Tetapi
tanpa berpanjang lebar membahas tentang ketahanan pangan nasioanl, kita cukup
membahas keterkaitan antara program diversifikasi pangan dengan ketahanan
pangan. Kalau kita perhatikan pada aspek penganeka-ragaman pangan yang kedua; penganeka-ragaman
zat gizi, maka sudah mulai terlihat adanya keberhasilan pemerintah dalam
mengkampanyekan menu makanan sehat dan seimbang, yaitu menu makan 4 sehat, lima
sempurna. Hampir semua lapisan masyarakat mengetahui slogan ini. Bukan hanya
tahu, tetapi juga sudah bisa memahami betapa pentingnya keragaman zat
gizi bagi tubuh. Sehingga disetiap tempat bisa kita jumpai bagaimana susunan
menu makan masyarakat, hampir semuanya menggunakan acuan menu diatas. Kalaupun
tidak sempurna, minimal memenuhi tiga menu pokok yang mewakili 3 zat gizi
penting bagi tubuh; karbohidrat, protein dan lemak.
Sampai
disini sudah bisa kita lihat bagaimana keberhasilan program diversifikasi
pangan terkait dengan upaya pemerintah dalam pemenuhan zat gzi Artinya, dengan
adanya program diversifikasi pangan ini, secara langsung telah berdampak
positif terhadap pola konsumsi masyarakat untuk mengupayakan ketercukupan zat
gizi bagi tubuh. Namun sayangnya, dalam upaya penganeka-ragaman sumber-sumber
bahan makanan, ternyata masih mengalami hambatan.
Kalau
diawal sudah dijelaskan bagaimana upaya pemerintah yang terkadang
kontraproduktif satu dengan lainnya, maka dari faktor luar-pun sebenarnya kita
mendapatkan ancaman. Hal ini tanpa kita sadari, sudah sejak lama kita
dipaksakan, ‘dijajah’ untuk mengkonsumsi produk-produk pangan ala Barat. Satu
sontoh diantaranya ialah konsep ‘fast food’ atau makanan cepat saji.
Konsep ini ternyata tidak hanya menawarkan kelezatan tetapi juga gengsi yang
menandakan tingginya status sosial. Perpaduan dua hal ini akhirnya mampu
menarik perhatian masyarakat hingga sangat luas. Bahkan disetiap penjuru kota
bisa kita temui dengan mudahnya outlet-outlet yang menjual makanan cepat saji
ini.
Padahal
kalau kita menilik kembali kekayaan alam kita, dengan beragamnya sumber
protein, baik hewani maupun nabati, maka seharusnya kita tidak terpukau dengan
konsep fast food yang ditawarkan itu. Apalagi saat ini didukung dengan
adanya bukti-bukti ilmiah tentang dampak negatif makanan cepat saji terhadap
kesehatan. Dengan kandungan lemak jenuh yang tinggi, ditambah dengan tidak seimbangnya
komposisi bahan makanan dalam setiap porsi-nya, seharusnya kita mulai berfikir
untuk mengembangkan potensi bahan makanan lokal yang kaya zat gizi penting bagi
tubuh.
Memang
tidak semua hal yang berasal dari Barat adalah satu hal yang harus kita tolak.
Ada beberapa hal yang memang sebaiknya kita ‘tiru’ dan kita kembangkan,
sehingga upaya kita dalam program diversifikasi pangan mengalamai keberhasilan.
Satu contoh diantaranya ialah produk Barat yang berupa mie instant dan roti.
Keduanya selama ini memang masih menggunakan bahan baku tepung terigu yang
berasal dari tepung gandum import. Tetapi jika bahan baku ini bisa kita ganti
dengan bahan dasar lokal, maka bukan tidak mungkin, kedepan nasi menjadi bahan
makanan ketiga setelah mie dan roti.
Jadi,
konsep baru yang ditawarkan disini, satu diantaranya ialah dengan mengembangkan
sumber-sumber bahan makanan lokal, seperti umbi-umbian, kacang-kacangan,
keleta, ubi jalar, buah pisang, labu kuning, dan buah sukun sebagai bahan
makanan alternatif pengganti beras dan tepung terigu. Tetapi sebelum program
ini dikembangkan lebih jauh, perlu dilakukan pengkajian terlebih dahulu
terhadap tingkat kesukaan masyarakat terhadap produk-produk mie atau roti
dengan berbahan dasar tepung-tepung lokal selain beras dan tepung terigu.
Dari
berbagai hasil penelitian, memang menunjukan masih adanya tingkat kesukaan
panelis yang tinggi terhadap produk roti atau mie yang memiliki rasio tepung
terigu lebih tinggi daripada tepung lokal. Tetapi jika upaya ini terus
dikampanyekan dan disebarluaskan, baik melalui media ataupun secara langsung
kepada masyarakat melalui penyuluhan, maka lama-kelamaan dapat dilihat adanya
perubahan yang cukup drastis dari pola kunsumsi makanan masyarakat, dari tepung
gandum dan beras kepada jenis pati-patian lokal.
Disisi
lain, dari peran pemerintah seharusnya juga mulai disiapkan dari sekarang
tentang kesiapannya, baik secara kelembagaan ataupun prosedur pelaksaan teknis
dilapangan, terkait dengan pengaturannya dengan pihak indutsri sebagai pihak
utama yang akan berperan dalam mengkampanyekan makanan alternatif pengganti
nasi dan roti atai mie yang masih berbahan baku tepung terigu menjadi berbahan
baku tepung lokal. Hal
ini mengingat keberhasilan promosi yang dilakukan oleh berbagai pihak industri
mie yang mampu mengajak masyarakat untuk mengkonsumsi selain nasi. Perlu kita
akui memang bahwa dalam dunia industri, selain mengedepankan profesionalitas,
tetapi juga melibatkan proses produksi masal yang menjamin ketersediaan produk,
serta sistem pemasaran dan distribusi yang tidak banyak mengalami penyimpangan.
Bahkan dalam sistem promosi akan sangat efektif dalam menjelaskan kepada
masyarakat tentang pentingnya mengkonsumsi bahan pangan lokal, yaitu mie dan
roti yang berasal dari tepung-tepung lokal.
Jika
proses ini berhasil, maka pengembangan-pengembangan berikutnya harus mulai
disiapkan juga dari sekarang, dimana misalnya dengan mulai terbiasaknnya
masyarakat mengkonsumsi sarapan dalam bentuk cair (cereal), maka
kedepan jenis produk makanan seperti ini pun perlu dikembangankan dengan
menggunakan bahan dasar lokal. Atau bisa juga dikembangkan bersamaan dengan
pengembangan makanan tradisional yang saat ini mulai mendapat perhatian serius
dari pihak pemerintah.
Kedua
program ini; pengembangan bahan makanan lokal dan tradisional, merupakan satu
peluang yang cukup potensial untuk dikembangkan menjadi alternatif makanan
pokok masyarakat kita. Karena kita cermati proses pembentukan kebiasaan
makan kita, sebenarnya mudah dipengaruhi, asalkan diberikan penjelasan
yang menyeluruh tentang keuntungan dan manfaatnya ketika mengkonsumsi
produk-produk makanan tersebut.
Dalam
hal ini, sengaja dipilih pihak industri sebagai garda terdepan dalam
mengkampanyekan produk-produk pangan alternatif ini, mengingat nilai strategis
industri yang mampu mengkampanyekan secara edukatif dan bersifat masal kepada
masyarakat, sehingga pesan yang ingin kita inginkan, cepat tersampaikan kepada
masyarakat. Pun jika masih ada satu hal yang mengganjal pada masyarakat, harus
segera ditanggapi secara aktif oleh pihak industri dan pemerintah, sehingga
persepsi keliru yang pada akhirnya mengganggu proses transformasi pola makan
masyarakat terhadap pola makan dapat diminimalisir.
Jika
konsep ‘pengindustrian’ pangan allternatif ini disepakati, maka yang perlu segera
diantisipasi lagi oleh pemerintah, adalah masalah harga yang tentunya sangat
berddampak langsung terhadap keberhasilan program ini. Diperlukan adanya
kontrol yang seefektif mungkin, sehingga permasalahan harga yang tidak
terjangaku bisa diatasi seawal mungkin. Tanpa membedakan kelas, konsep jenjang
harga berdasar kualitas, sebenarnya bisa diterapkan. Asalkan dengan satu
syarat, kebutuhan standar akan gizi yang dipersyaratkan terpenuhi pada semua
jenis produk.
Belajar
dari pengalaman, sudah seharusnya masing-masing pihak mengerti dan memahami
nilai pentingnya program ini. Bagi pihak industri, sebagai penyokong utama
bersama pemerintah, sudah seharusnya bersifat saling terbuka dan meminimalisir
adanya kepentingan sesaat yang pada akhirnya merugikan semua pihak. Begitu juga
diperlukan adanya pengertian dan partisipasi aktif dari pihak masyarakat,
karena kesuksesan program ini sangat ditentukan oleh masyarakat itu sendiri,
sebagai produsen bahan baku, sekaligus konsumen produk-produknya. Hal
ini disebabkan tidak semua proses produksi bisa dilaksanakan secara mandiri
oleh masyarakat, dikarenakan kebutuhan teknologi yang canggih, tidak hanya
memenuhi standar pada aspek kualitas mutu secara fisik dan kenampakan, tetapi
secara kimia dan mikrobiologis harus memenuhi standar mutu keamanan pangan (food
safety). Oleh karena itu, dengan melihat kebutuhan pangan masyarakat yang
semakin besar, tidak mungkin untuk memenuhinya dilakukan secara mandiri oleh
masing-masing keluarga.
Bahkan
kalau kedepan semakin dibutuhkan adanya program fortifikasi gizi dengan melihat
semakin mewabahnya berbagai macam penyakit, terutama yang terkait dengan
kekuranagn dan kelebihan zat gizi, diperlukan satu pengaturan (regulasi) yang
secara aktif diupayakan oleh pemerintah untuk menangani kasus-kasus semacam
kekurangan zat besi, kekurangan vitamin A, atau zat-zat gizi penting lainnya.
Sehingga semakin banyak tuntutan yang dibutuhkan oleh masyarakat, sudah
seharusnya dari pihak industri, dengan didukung oleh lembaga-lembaga pendidikan
dan instansi lain yang terkait, untuk melakukan berbagai penelitian dan
pengembangan terhadap kemungkinan-kemungkinan solusi alternatif yang bisa
membantu memecahkan permasalahan gizi masyarakat.
Untuk
melaksanakan itu semua, tidaklah semudah yang kita bayangkan. Bahwa saat ini
sudah terjadi proses-proses yang mengarah pada globalisasi, maka dunia industri
kita pun terkena dampaknya. Hanya beberapa saja industri lokal kita yang masih
mampu bersaing dengan MNC (Multi National Corporation). Sehingga perlu
segera dilakukan oleh pemerintah mulai dari sekarang ialah menyiapkan
industri-industri kecil-menengah lokal untuk bisa go public, bersaing dengan
indutsri-indutsri internasional. Dengan dimilikinya sumber daya alam lokal yang
kaya, seharusnya bisa dijadikan sebagai daya tawar untuk menghadapi persaingan
global.
Namun
yang lebih penting dari itu semua ialah, adanya orang-orang yang memiliki
integritas dan kepribadian moral yang baik, dengan didukung adanya kompetensi
dan kemauan yang kuat untuk membangun bangsa ini, melalui program diversifikasi
pangan berbasis bahan pangan lokal, maka pemenuhan kebutuhan akan pangan
sebagai salah satu pilar inti dalam mewujudkan sistem ketahanan pangan nasional
yang mantap bisa terwujudkan.
Artikelnya bagus
BalasHapus